Yogyakarta atau orang bisa menyebutnya Jogja, merupakan sebuah kota dengan beragam latar belakang penduduk. Hal ini tidak lepas dari keberadaannya sebagai kota pendidikan yang memiliki banyak perguruan tinggi favorit.
Karena hal itu, mahasiswa dari berbagai suku bangsa, daerah dan kepercayaan menetap di Yogyakarta untuk menyelesaikan studi. Selain itu ada juga etnis Tionghoa yang telah lama menetap di kota Pelajar. Mereka rata-rata tinggal di perkotaan dan bekerja sebagai pedagang.
Meskipun menerima ‘hukuman’ dari pihak Kesultanan Ngayogyakarta karena history di masa lalu, namun sampai detik ini keberadaan etnis Tionghoa tidak memunculkan permasalahan. Salah satu bukti keberadaan etnis Tionghoa yang menyatu dengan penduduk pribumi Yogyakarta adalah adanya Klenteng Poncowinatan.
Sejarah Berdirinya Klenteng Poncowinatan


Klenteng Poncowinatan dikenal juga dengan nama Kwan Tee Kiong atau Zhen Ling Gong dan diyakini mulai berdiri pada tahun 1879 atau 1881. Pendirinya berasal dari komunitas Tionghoa di Yogyakarta, di atas tanah yang dihibahkan oleh Sultan Hamengku Buwono (VII atau VIII) sebagai bentuk pemberian lahan bagi etnis Tionghoa untuk mendirikan tempat ibadah.
Tujuan awal pendirian bukan hanya sebagai tempat beribadah, tapi juga sebagai simbol kehadiran masyarakat Tionghoa yang ingin berbaur dalam tata kota dan kehidupan masyarakat di kampung Pecinan Ketandan maupun Kranggan.
Ternyata keberadaan komunitas dan aktivitas etnis Tionghoa telah ada sejak abad ke-19. Kehadiran mereka tidak terlepas dari hubungan dengan Kesultanan Yogyakarta, terutama dalam hal izin dan pemberian lahan/hak guna atas tanah milik keraton.
Selain klenteng Poncowinatan, sebenarnya di Yogyakarta juga ada satu klenteng lagi, yakni klenteng Fuk Ling Miau yang berlokasi di Gondomanan. Kedua klenteng tersebut sudah cukup lama berdiri di Yogyakarta.
Peran Klenteng Poncowinatan di Masa Lampau


Pada masa kolonial Belanda, klenteng berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan sekaligus sosial, tempat berkumpul, tempat melakukan ritual bersama, dan penampung kebutuhan spiritual komunitas.
Beberapa sekolah Tionghoa yang berdiri di lingkungan klenteng digunakan untuk memperkuat pendidikan masyarakat, meskipun dihadapkan pada regulasi kolonial yang terkadang membatasi penyelenggaraan institusi komunitas non-Eropa.
Klenteng juga menjadi salah satu simbol keberadaan komunitas Tionghoa di Yogyakarta yang harus diakui meskipun berada dalam rezim kolonial yang sering menempatkan etnis Tionghoa pada posisi marginal.
1. Perkembangan dari Masa ke Masa
Klenteng Poncowinatan telah mengalami renovasi dan pemugaran dari waktu ke waktu agar tetap kokoh dan relevan dengan kebutuhan ibadah kontemporer. Selain itu, Klenteng Poncowinatan mendapatkan status sebagai cagar budaya agar dilindungi dan dilestarikan karena bagian dari sejarah Yogyakarta.
Untuk saat ini klenteng tidak hanya menjadi tempat ibadah bagi umat Tri Dharma (Buddha, Konghucu dan Taoisme), tetapi juga tujuan wisata religi dan budaya, yang dikenal luas oleh warga lokal maupun wisatawan.
Bangunan ini menjadi terlihat unik karena berada di tengah bangunan modern tapi masih mempertahankan nilai tradisional yang estetik dan tentunya terlihat lebih mencolok di antara bangunan lainnya.
2. Arsitektur dan Gaya Interior Klenteng
Arsitektur dari bangunan Klenteng Poncowinatan sama seperti arsitek klenteng pada umumnya. Atap melengkung dengan ujung-ujung atap yang melambung ke atas (bubungan) sebagai ciri arsitektur klasik Tionghoa.
Selain itu, ornamen naga, hiasan simbolis di sudut atap dan atap sisi-sisi gedung menunjukkan gaya khas bangunan Tionghoa. Warna merah dan keemasan mendominasi fasad dan interior sebagai simbol keberuntungan, kemuliaan, dan kekuasaan dalam budaya Tionghoa.
Sampai saat ini bangunan tetap kokoh karena struktur bangunan menggunakan elemen kayu jati pada tiang dan rangkanya. Untuk dinding masih menggunakan bata dengan rangka atap yang rumit serta dekorasi pada plafon kayu.
Pada elemen dekoratif klenteng terdapat unsur makhluk maupun benda yang merupakan simbol dari suatu nilai. Seperti keberadaan naga sebagai simbol kekuatan, perlindungan, dan keseimbangan kosmik. Sedangkan burung Phoenix melambangkan kebangkitan, keanggunan, dan kemurnian.
Pada bagian interior pasti terdapat lilin merah dan dupa yang melambangkan cahaya, doa, dan penghormatan kepada leluhur. Selain itu pada altar berisi patung-patung dewa dan leluhur. Masing-masing dewa biasanya memiliki makna khusus seperti dewa kesejahteraan, dewa keadilan dan dewa perdamaian.
3. Aktivitas dan Fungsi Klenteng
Untuk saat ini, klenteng masih digunakan untuk beribadah. Ibadah rutin diadakan setiap hari tertentu misalnya tiap tanggal 1 dan 15 kalender Tionghoa oleh umat Tri Dharma. Sedangkan untuk upacara tahunan seperti perayaan ulang tahun dewa, malam Imlek, Cap Go Meh, dan sembahyang bersama juga rutin diselenggarakan di samping event penting seperti waisak.
Selain sebagai tempat ibadah, klenteng memiliki fungsi sosial dan budaya. Klenteng juga sebagai pusat kegiatan kebudayaan seperti pentas seni, pertunjukan barongsai, atau musik tradisional Tionghoa–Jawa.
Lokasi Klenteng Poncowinatan


Klenteng ini terletak di wilayah Poncowinatan yang terkenal sebagai daerah Pecinan dan merupakan salah satu kelenteng tertua yang berada di Yogyakarta. Untuk menuju lokasi, Sedulur Yogyaku bisa menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan umum.
Jika Sedulur Yogyaku dari Tugu Jogja langsung bisa ambil arah utara ke Jalan AM Sangaji, lalu belok kiri ke arah Pasar Kranggan. Klenteng ini berada di sebelah utara jalan tidak jauh dari pasar tersebut. Bahkan di halaman Klenteng sering digunakan untuk parkir pengunjung pasar Kranggan.
- Alamat: Jl. Poncowinatan No.12-18, Gowongan, Kec. Jetis, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55233
- Jam buk : 09.00 – 16.00
Penutup
Penelusuran sejarah, arsitektur, fungsi, serta makna Klenteng Poncowinatan akan menjadikan Sedulur Yogyaku mengenal lebih jauh salah satu warisan budaya yang masih hidup. Klenteng ini bukan hanya tempat ibadah umat Tri Dharma, tetapi juga simbol toleransi, kebersamaan, dan kebanggaan kota Yogyakarta.
