Rebo Pungkasan Wonokromo: Menggugah Semangat dan Warisan Budaya!

Photo of author

Ditulis oleh Melynda Dyah

Seorang Content Writer yang membawa semangat dan kreativitas dalam setiap tulisannya. Bekerja untuk Zeka Digital dan untuk diri sendiri.

Yogyakarta adalah salah satu kota di Indonesia yang sangat nguri-uri budaya. Salah satunya seperti budaya atau tradisi yang sampai saat ini masih dijaga, Rebo Pungkasan Wonokromo atau Rebo Wekasan.

Rebo Pungkasan pertama kali diadakan tahun 1784 dan sampai saat ini masih dilestarikan. Secara garis besar, ritual ini diadakan sebagai bentuk penghormatan dan mengenang kyai pertama di Wonokromo (Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit).

Selain itu, tradisi Rebo Pungkasan juga sebagai pengingat bahwa setiap orang harus selalu mensyukuri nikmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keyakinan bahwa semakin banyak bersyukur, akan semakin dijauhkan pula dari mara bahaya.

Ya, jika dalam tradisi Jawa, upacara adat Rebo Pungkasan Wonokromo ini hampir sama dengan tradisi bersih desa. Karena secara keseluruhan diadakannya acara ini sebagai bentuk rasa syukur, memohon berkah, dan meminta perlindungan.

Mitos Upacara Adat Rebo Pungkasan Wonokromo

Upacara Adat Rebo Pungkasan Wonokromo, Sumber: googleusercontent.com
Upacara Adat Rebo Pungkasan Wonokromo, Sumber: googleusercontent.com

Mitos tentang asal-usul diselenggarakannya Rebo Pungkasan berkembang dengan berbagai versi. Namun secara umum, mitos-mitos yang berkembang di masyarakat memiliki satu kesamaan, yaitu tentang seorang kyai bernama Mbah Faqih Usman.

Mbah Faqih Usman adalah seorang kyai pertama di Desa Wonokromo yang kemudian banyak masyarakat menyebutnya dengan nama Kyai Welit. Dimana Kyai Welit ini diyakini memiliki kelebihan.

Salah satu kelebihannya yaitu mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan menyertakan berkah karena ibadahnya yang taat. Dulunya, ketika wilayah Wonokromo dan sekitarnya diserang pagebluk, Kyai Welit inilah yang berkontribusi untuk menyembuhkan masyarakat. 

Setiap kali Kyai Welit mengobati pasiennya, beliau menyuwuk air di telaga Kali Opak dan Kali Gajah Wong yang selanjutkan akan dibacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Lalu, air tersebut diminumkan atau dibasuh ke pasien. 

Keahlian Kyai Welit tersebut lambat laun terdengar sampai ke telinga Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kemudian, Kyai Welit diminta untuk menghadap dan menunjukkan kelebihannya tersebut. Dari mitos inilah, lahir tradisi Rebo Pungkasan.

Pelaksanaan Upacara Adat Rebo Pungkasan Wonokromo

Waktu pelaksanaan di malam hari, Sumber; idntimes.com
Waktu pelaksanaan di malam hari, Sumber; idntimes.com

Upacara adat Rebo Pungkasan diselenggarakan setiap tahunnya di hari Rabu terakhir pada bulan Safar dalam kalender Jawa. Dimana puncak acara dari serangkaian upacara adat ini ada di malam Rabu atau pada hari Selasa malam.

Dipilihnya Rabu sebagai hari pelaksanaan tradisi ini karena masyarakat meyakini bahwa pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Sri Sultan Hamengku Buwono I bertemu dengan Kyai Welit.

Dulunya, puncak acara dilaksanakan di dekat masjid dan biasanya seminggu sebelumnya akan ada acara keramaian yang disebut sebagai pasar malam. Namun saat ini, lokasi upacara adat dialihkan di Balai Desa Wonokromo. 

Tradisi Kirab Rebo Pungkasan Wonokromo

Kirab Rebo Pungkasan Wonokromo, Sumber: solopos.com
Kirab Rebo Pungkasan Wonokromo, Sumber: solopos.com

Hal menarik yang dinantikan oleh masyarakat sekitar setiap Rebo Pungkasan adalah pawai dan arak-arakan gunungan yang begitu meriah. Tradisi ini dilakukan dengan kirab gunungan yang berisikan hasil bumi seperti sayuran dan buah-buahan. 

Selain membawa hasil bumi, kirab Rebo Pungkasan Wonokromo juga membawa gunungan lemper. Lemper yang dibawa adalah lemper berukuran raksasa dengan panjang mencapai dua meter bahkan lebih. 

Kemudian lemper tersebut dibungkus menggunakan daun pisang, seperti lemper pada umumnya. Bahan utama pembuatan lemper ini juga seperti pada umumnya, terbuat dari beras ketan dan diisi dengan daging ayam.

Iring-iringan dengan membawa lemper raksasa inilah yang paling ditunggu oleh masyarakat pada tradisi tersebut. Serta menjadi ciri khas utama dari Rebo Pungkasan Wonokromo.

Gunungan dan lemper raksasa, diarak dari masjid-masjid Wonokromo menuju Balai Desa Wonokromo. Adapun rute arak-arakan melewati jalan Imogiri Timur dengan jarak tempuh kurang lebih 2 kilometer.

Lemper raksasa dan gunungan diarak oleh beberapa pasukan atau bregodo yang diawali oleh barisan prajurit Keraton Yogyakarta. Kemudian diikuti bregoda gamelan yang terdiri dari barisan tari daerah dan pemain musik tradisional. 

Dalam proses perjalanan dari masjid menuju Balai Desa Wonokromo inilah yang mengundang banyak perhatian warga sekitar untuk melihat kirab atau sekedar mengabadikan momen tersebut. Tidak jarang hal ini menimbulkan kemacetan.

Puncak Acara Rebo Pungkasan Wonokromo

Potongan lemper raksasa, Sumber: googleusercontent.com
Potongan lemper raksasa, Sumber: googleusercontent.com

Setibanya di Balai Desa Wonokromo, lemper raksasa dan gunungan akan dinaikkan ke atas pendopo untuk diadakan acara pemotongan lemper. Upacara ini diawali dengan sambutan kepala desa, pemaknaan dari perayaan, dan doa bersama. 

Setelah itu, dilanjutkan dengan pemotongan lemper raksasa. Lemper yang telah dipotong akan dibagikan kepada para tamu undangan dan warga sekitar yang turut hadir. Tidak ada acara berebut lemper, karena semua akan dibagi secara merata. 

Bahkan jika ada yang tidak mendapatkan bagian dari potongan lemper raksasa, panitia sudah mempersiapkan tambahan lemper agar semua yang hadir di balai desa dapat mencicipinya.

Pemilihan lemper yang turut memeriahkan acara Rebo Pungkasan Wonokromo memiliki filosofi tersendiri. Karena terdapat ajaran leluhur tentang kesederhanaan yang diwariskan melalui sebungkus jajanan lezat ini. 

Lemper sendiri adalah singkatan dari kalimat Jawa, “yen dialem, atimu ojo memper”. Jika dalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut memiliki arti “kalau disanjung/ dipuji, jangan lantas menjadi sombong.”

Dari sini kita tahu bahwa Tradisi Rebo Pungkasan tidak hanya menjadi simbol rasa syukur dan permohonan berkah, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai moral, khususnya tentang pentingnya kesederhanaan dan rendah hati.

Itulah tradisi Rebo Pungkasan yang setiap tahunnya menjadi magnet bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Banyak wisatawan berbondong-bondong menyaksikan langsung kemeriahan dan kearifan lokal tersebut.

Bagaimana menarik bukan tradisi Rebo Pungkasan di Wonokromo? Jika Sedulur Yogyaku tertarik dengan beragam tradisi lain di Jogja atau event-event Jogja terdekat, bisa langsung mengaksesnya di laman website Yogyaku.