Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam suku bangsa yang mendiaminya. Salah satu suku bangsa ‘pendatang’ selain bansa Arab dan India adalah bangsa Tionghoa. Sedulur Yogyaku tentu akan mudah mengenali mereka karena mereka telah menyatu dengan masyarakat lokal di berbagai kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Medan.
Persebaran masyarakat Tionghoa di bumi Nusantara tentu memunculkan budaya, bahasa, dan kehidupan sosial yang khas dan mewarnai kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Salah satunya adalah keberadaan komunitas Tionghoa di Jogja yang terpusat di kampung Pecinan Ketandan yang tidak jauh dari Teras Malioboro.
Jika diamati lebih dalam, keberadaan unit bisnis di pusat kota Jogja, terutama di sekitar Malioboro, sebagian dimiliki oleh warga etnis Tionghoa beserta keturunannya. Keberadaan mereka di Jogja, melalui berbagai lika-liku sejarah yang bisa dibilang ‘menyedihkan’.
Dinamika Komunitas Tionghoa di Jogja


Sejak era kolonial Belanda, warga keturunan Tionghoa telah tinggal dan menjalankan aktivitas ekonomi di wilayah ini. Mereka memainkan peran penting dalam dunia perdagangan, terutama di sektor retail dan grosir.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa sejak abad ke-19, Tionghoa sudah menjadi bagian dari denyut ekonomi dan budaya lokal. Salah satu pusat komunitas tersebut berada di Kampung Pecinan Ketandan, yang terletak tak jauh dari pusat keramaian Malioboro dan bahkan mewarnai dinamika dan sejarah Malioboro dari waktu ke waktu.
Tahukah Sedulur Yogyaku, jika komunitas Tionghoa menerima kebijakan khusus yang membedakannya dari warga lain, terutama terkait kepemilikan tanah?
Hingga saat ini, warga keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan memiliki tanah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara langsung. Larangan ini merujuk pada Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Latar belakang kebijakan ini tidak terlepas dari konteks sejarah dan sosial-politik masa lalu.
Berbagai sumber menyatakan bahwa hal ini lantaran pada tahun 1948 saat Belanda kembali melakukan agresi, sebagian keturunan Tionghoa di Jogja justru dianggap mendukung Belanda. Hal ini memicu rasa kecewa mendalam dari Sultan Hamengkubuwono IX.
Akibatnya, Sultan mencabut hak kepemilikan tanah dan hanya mengizinkan warga Tionghoa memiliki Hak Guna Bangunan (HGB), bukan Sertifikat Hak Milik (SHM). Aturan ini kemudian diperkuat lewat Instruksi Wagub DIY 1975 (Nomor K.898/1975).
Meskipun masyarakat Tionghoa dibatasi dalam kepemilikan property, terutama tanah, mereka tetap diperbolehkan tinggal dan menjalankan usaha di Jogja. Banyak pedagang Tionghoa berhasil dalam menjalankan bisnis di bidang perdagangan dan jasa di Jogja.
Mungkin kejadian di masa lalu telah menorehkan luka yang berdampak hingga sekarang, namun integrasi sosial antara etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi menjadikan tidak ada jarak antara etnis pribumi dan pendatang di Jogja. Etnis pendatang tetap diakui dan menjadi bagian penting dari keberagaman budaya kota Jogja.
Kampung Pecinan Ketandan: Pusat Jejak Budaya Tionghoa di Malioboro


Kampung Ketandan sudah ada sejak lama, bahkan sejak Kesultanan Yogyakarta berdiri sebagai pusat pemerintahan. Di masa lalu, sekitar akhir abad 19, komunitas Tionghoa di Jogja bekerja untuk Kesultanan sebagai penarik pajak.
Agar tertata dalam hal tempat tinggal, maka komunitas Tionghoa mendapatkan tempat khusus di sebelah utara pasar Beringharjo. Hingga sekarang, lokasi tersebut dikenal sebagai kampung Pecinan di Jogja. Tempat itu sebagai pusat kebudayaan, pusat perdagangan dan ‘peradaban kecil’ suku bangsa Tionghoa.
Jika Sedulur Yogyaku melewati area kampung Ketandan di dekat Malioboro, pasti akan menemukan gerbang berupa gapura besar dengan ukiran naga berwarna merah dengan ciri khas Tionghoa. Apalagi jika Sedulur Yogyaku menyambanginya menjelang perayaan Imlek, banyak ornamen yang akan dipasang di setiap sudutnya.
Selain itu, rumah-rumah lama, dan ornamen budaya masih kental terasa di kampung Ketandan. Tidak seperti di masa lalu sebagai penarik pajak, saat ini komunitas Tionghoa di Jogja melakukan kegiatan bisnis perdagangan dengan tradisi yang masih dijaga.
Terkadang beberapa warga etnis Tionghoa, terutama yang sudah berusia lanjut, masih menggunakan istilah atau kosakata bahasa mereka ketika berinteraksi dengan sesama mereka. Mereka tidak akan pernah melupakan akar sejarah bangsanya, dan ini terbukti dengan penjagaan keturunan melalui sistem marga.
Berbagai festival dan atraksi budaya, seperti Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta sering dipusatkan di kampung ini pada waktu-waktu tertentu. Hal ini tentu bisa menarik wisatawan yang mengunjungi Jogja, baik dari lokal maupun mancanegara.
Keberadaan komunitas Tionghoa yang mampu berkembang bahkan dari segi perdagangan melampau pengusaha lokal Jogja memberikan gambaran bahwa kebijakan yang selama ini ‘dituduh’ rasis oleh sebagian kalangan ternyata tidak memiliki dampak yang signifikan. Dengan kata lain, ketika kebijakan Kesultanan yang telah berjalan lama tersebut kemudian digugat di masa sekarang, sepertinya kurang tepat.
Jogja adalah Rumah Beragam Etnis


Keberadaan Kampung Pecinan Ketandan menjadi pengingat bahwa Jogja bukan hanya kota budaya Jawa, tetapi juga rumah bagi ragam etnis yang telah berbaur selama berabad-abad. Harmoni dalam keberagaman adalah kekuatan yang membuat kota ini istimewa.
Sejarah, meski kadang diwarnai konflik dan kebijakan yang tidak selalu adil, tetap dapat menjadi pelajaran berharga untuk membangun masa depan yang lebih inklusif. Di tengah hiruk-pikuk Malioboro, Ketandan berdiri sebagai saksi bisu perjalanan komunitas Tionghoa di Kota Pelajar.
Dari arsitektur berornamen khas, cerita warga yang diwariskan turun-temurun, hingga aroma masakan yang menggoda selera, semuanya adalah bagian dari mozaik budaya yang tak ternilai.
Maka, saat Sedulur Yogyaku berkunjung ke Jogja, setelah selesai berburu oleh-oleh khas Jogja di Malioboro sempatkanlah melangkah ke Kampung Pecinan Ketandan yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Rasakan suasana masa lalu yang berpadu dengan kehidupan modern, nikmati kuliner autentik, dan abadikan setiap sudutnya yang penuh cerita. Bukan sekadar destinasi wisata, Ketandan adalah pengalaman budaya yang akan memperkaya perjalanan dan hati bagi semua.
