Kasus bullying siswa menjadi fenomena yang cukup dikhawatirkan dalam dunia pendidikan. Sebagai tindak yang merugikan, semua orang tidak menyukai aktivitas ini. Meskipun begitu, faktanya kasus ini seakan terus mengalami peningkatan.
Selain menjadi satu potret gelap pendidikan Tanah Air, tentu fenomena seperti ini sangat disayangkan. Sebab di mata negara lain, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung kebersamaan. Dimana rasa kekeluargaan dan saling peduli begitu lekat pada bangsa ini.
Lantas mengapa kasus perundungan masih saja terjadi dalam dunia pendidikan kita? Dan bagaimana sebaiknya menyikapi hal ini? Simak ulasan berikut!
Ragam Tindak Bullying
Apakah Sedulur Yogyaku termasuk yang menganggap kasus bullying hanya dengan kekerasan? Pada dasarnya, bullying terbagi dalam berbagai ragam yang di antara:
1. Bullying Fisik
Tindak perundungan dalam bentuk fisik menjadi yang paling populer di tengah masyarakat. Sebab efek dari jenis bullying ini begitu jelas. Dimana siswa yang menjadi korban akan terlihat memiliki luka fisik. Seperti lebam maupun memar.
Dengan demikian bullying fisik adalah kasus perundungan yang dilakukan secara langsung melalui kontak fisik. Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya, mulai dari ingin menunjukkan eksistensi diri hingga karena cari perhatian.
Jika pelaku tidak segera diberi sanksi, biasanya akan menjalar pada tindak yang lebih besar. Kasus klitih di Jogja disinyalir terjadi karena didorong faktor yang sama.
2. Bullying Verbal
Tindakan bullying yang juga sering terjadi adalah perundungan verbal. Jenis bullying ini tidak hanya dilakukan melalui perkataan, namun juga dengan tulisan.
Meski hanya dengan kata-kata, namun bullying ini cukup memberi dampak besar. Korban yang terkena bullying ini biasanya mentalnya akan terganggu. Dimana jika tidak segera dilakukan penanganan, dampaknya adalah pertumbuhan siswa menjadi tidak normal.
3. Bullying Non Verbal
Kasus bullying siswa yang juga sering terjadi adalah perundungan non verbal. Dimana dalam jenis ini terbagi menjadi dua, yaitu perundungan non verba langsung dan tidak langsung.
Tindakan yang termasuk dalam bullying verbal langsung adalah melihat siswa secara sinis. Sedangkan tindak non verbal tidak langsung dilakukan dengan mendiamkan seseorang, atau mengucilkan orang lain.
4. Bullying Finansial
Salah satu yang juga sering terjadi di dunia pendidikan adalah perundungan secara finansial. Yakni adanya siswa yang meminta uang pada siswa lain secara paksa. Dan jika tidak diberi uang, maka akan terjadi ancaman.
Beberapa poin di atas merupakan kasus bullying siswa yang terjadi di dunia pendidikan. Dimana angkanya cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Dari catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), terjadi sekitar 30 kasus bullying sepanjang tahun 2023. Data tersebut merupakan hasil yang terdeteksi, sementara yang belum terdeteksi bisa lebih banyak. Sebab menurut data KPAI, ada 837 kasus kekerasan anak di satuan pendidikan pada tahun 2023.
Mengapa Terjadi Bullying?
Dengan adanya peningkatan kasus bullying siswa, tentu memiliki sebab. Dan berikut penyebab yang bisa memicu munculnya tindakan bullying:
1. Penyelenggara Pendidikan
Faktor pertama yang bisa memicu munculnya tindak perundungan adalah penyelenggara pendidikan yang belum maksimal. Sebab sejatinya pendidikan bertujuan untuk membentuk kepribadian anak. Dan anak yang suka melakukan tindak bullying mencerminkan tidak berkepribadian baik.
Ada banyak faktor untuk memaksimalkan peran penyelenggara pendidikan. Mulai dari penyiapan kurikulum yang tepat hingga penyediaan tenaga pengajar yang berjiwa guru.
Saat faktor yang dibutuhkan belum siap, masalah pendidikan akan terus bermunculan. Kasus bullying siswa hingga siswa SMP tidak bisa membaca hanya beberapa akibat yang sedang tersorot.
2. Minim Peran Keluarga
Sebab kedua yang bisa memicu adanya tindakan bullying adalah karena faktor peran keluarga yang minim. Dimana anak-anak yang masuk ke dunia sekolah, pada dasarnya adalah produk sebuah keluarga. Semakin tinggi peran keluarga, semakin baik pula produk yang akan dihasilkan.
Dari data yang ada, anak pelaku bullying sering kali muncul dari keluarga yang bermasalah. Dengan latar belakang tersebut, akhirnya anak menjadikan teman di bangku sekolah sebagai luapan emosi.
Selain itu usia anak sekolah sedang dalam fase pencarian jati diri. Jika peran keluarga tidak maksimal, anak akan tidak terkontrol. Dengan demikian bisa jadi ekspresi jati diri yang dipilih adalah hal negatif seperti tindakan bullying.
3. Kurang Tegasnya Penanganan
Dan faktor terakhir yang menyebabkan kasus bullying semakin meningkat adalah karena penanganan yang kurang tegas. Dimana calon pelaku merasa jika mereka membully, maka tidak masalah sebab sanksi tidak seberapa.
Dalam penanganan masalah seperti ini memang perlu penanganan yang tegas. Dimana ketegasan yang diperlukan seharusnya hingga menimbulkan efek jera.
Sebab anak zaman sekarang sudah semakin pintar. Dengan mempelajari akibat, menjadikan mereka berlaku semaunya. Bahkan dengan mengetahui aturan siswa tidak boleh tinggal kelas, mereka semakin malas belajar. Sebab apa pun yang mereka lakukan pada akhirnya akan tetap lulus.
Bagaimana Menyikapinya?
Nah setelah membaca ulasan di atas, apakah Sedulur Yogyaku sudah mulai memikirkan solusi dan cara penyikapan?
Tentu bagi orang tua, tidak ada yang ingin anaknya menjadi korban bully. Begitu juga sebaliknya, jika tidak ingin yang demikian terjadi maka orang tua juga perlu mencegah anaknya untuk membully. Sebab tindakan semacam ini begitu merugikan, terutama bagi orang tua.
Dengan demikian langkah penyikapan yang paling bijaksana adalah kembali ke keluarga masing-masing. Yaitu dengan semakin meningkatkan peran setiap anggota keluarga.
Jika beralasan sibuk dan yang semacamnya, hal itu tidak tepat. Sebab sejatinya anak adalah aset dan amanah orang tua. Bagaimana pun keadaan orang tua, mereka yang paling utama dalam mendidik anak. Saat merasa tidak mampu bukan alasan untuk menyerah, namun itu tanda untuk terus belajar.
Penyelenggara pendidikan bukanlah penanggung jawab utama terhadap perkembangan anak. Setiap penyelenggara pendidikan hanya bertugas membantu orang tua dalam mendidik anak. Seberapa pun orang tua mampu membayar, guru tetap lah pahlawan tanpa tanda jasa.