Soal tradisi dan kebudayaan, Indonesia memang juaranya. Bahkan, setiap provinsi hingga wilayah yang lebih kecil pun memiliki tradisi unik dengan nilai-nilai baik yang masih dijaga hingga saat ini. Contohnya tradisi Nyadran Jogja yang masih lestari hingga kini.
Nyadran sendiri sebuah tradisi yang dilakukan ketika bulan Ramadhan akan segera tiba. Seperti kebanyakan tradisi lainnya, Nyadran juga merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu kala.
Lalu, apa sih sebenarnya tradisi Nyadran Jogja itu? Yuk simak beberapa informasinya di bawah ini!
Mengenal Tradisi Nyadran Jogja, Tradisi Jelang Puasa yang Masih Ada Hingga Saat Ini
Selain tradisi Rasulan, Nyadran memang menjadi salah satu tradisi yang paling umum dijumpai di Jawa Tengah dan Jogja. Tradisi Nyadran juga sering disebut dengan Sadranan atau Ruwahan, sehingga Sedulur Yogyaku tidak perlu merasa bingung jika ada orang yang menyebutnya dengan nama yang berbeda.
Jika dilihat dari situs Dinas Kebudayaan Jogja, Nyadran merupakan kata yang berasal dari bahasa Sansekerta Sraddha yang memiliki makna keyakinan.
Jika ditelaah lebih luas, maka Nyadran memiliki makna kegiatan yang bertujuan untuk mendoakan orang tua dan leluhur yang sudah tiada.
Seperti yang sudah disebutkan tadi, tradisi Nyadran Jogja dilaksanakan sebelum bulan Ramadhan tiba, lebih tepatnya pada bulan Syaban atau Ruwah. Sedangkan untuk tanggal tepatnya bisa ditentukan sendiri menurut situasi dan kondisi masing-masing.
Namun, jika mengacu pada situs Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, pelaksanaan Nyadran ini biasanya dilakukan pada tanggal 15, 20 atau 23 Ruwah.
Selain itu, ada beberapa kalangan yang menyebutkan bahwa sebaiknya Nyadran dilaksanakan pada hari Jumat Pahing. Meski begitu, biasanya orang yang dituakan atau juru kunci pada daerah tertentulah yang menentukan kapan Nyadran ini akan dilaksanakan.
Mengenal Prosesi Tradisi Nyadran, Panjang dan Sarat Makna
Karena tidak hanya dilaksanakan di Jogja saja, jangan heran jika ada sedikit perbedaan pada prosesi pelaksanaan tradisi Nyadran.
Sebab yang pasti, tujuan utama dari tradisi ini ialah membawa dan mendoakan kebaikan bagi mereka yang sudah berpulang lebih dahulu. Perbedaan prosesi ini juga bisa dijumpai pada tradisi lain seperti tradisi baritan.
Secara umum, berikut beberapa proses yang pasti dijumpai pada pelaksanaan tradisi Nyadran.
1. Prosesi Besik
Langkah atau prosesi pertama yang biasanya dilakukan pada tradisi Nyadran adalah besik. Besik sendiri merupakan kegiatan membersihkan makam orang tua atau leluhur dari segala macam yang dianggap mengganggu. Mulai dari sampah, kotoran hingga rumput liar yang tumbuh di sekitar makam.
Pada prosesi ini, biasanya masyarakat bergotong royong bersama-sama membersihkan makam di daerah mereka. Hal ini tentu menjadi kegiatan dan kebiasaan baik di tengah kehidupan bermasyarakat.
2. Prosesi Kirab
Jika makam sudah selesai dibersihkan, maka prosesi selanjutnya adalah kirab. Kirab atau arak-akan ini akan dilangsungkan dengan ramai dan meriah menuju ke tempat acara akan dilangsungkan.
Prosesi kirab ini juga biasanya akan ditonton oleh banyak orang. Sehingga, banyak orang yang mengenakan pakaian khusus yang cocok dan menarik untuk ditonton oleh banyak mata.
3. Prosesi Ujub
Jika arak-arakan sudah selesai, maka prosesi selanjutnya adalah melakukan ujub. Pada prosesi ujub, orang yang dituakan atau juru kunci akan menyampaikan maksud dan makna dari rangkaian prosesi yang dilaksanakan.
4. Doa Bersama
Prosesi selanjutnya yang juga merupakan rangkaian acara utama dari tradisi Nyadran Jogja adalah melakukan doa bersama. Doa bersama ini biasanya dipimpin oleh pemangku adat atau orang yang dituakan.
Doa yang dipanjatkan juga biasanya cukup panjang. Tidak hanya mendoakan mereka yang sudah berpulang, namun juga mendoakan yang masih hidup agar bisa menjalani kehidupannya dengan lebih baik.
5. Prosesi Kembul Bujono dan Tasyakuran
Jika doa bersama sudah selesai dilakukan, maka prosesi terakhir adalah melakukan tasyakuran. Tasyakuran biasanya diisi dengan makan bersama dengan warga setempat.
Untuk makanannya, biasanya setiap warga akan membawa beberapa hidangan untuk dimakan secara bersama. Beberapa makanan yang hampir selalu ada dalam tradisi ini adalah ingkung, tumpeng dan beberapa lauk yang cocok untuk menemani makanan utama tadi.
Filosofi dan Makna Tradisi Nyadran
Bukan hanya tradisi Wiwit, tradisi Nyadran juga memiliki beberapa makna yang masih dipertahankan hingga saat ini. Makna ini juga terkandung dalam Jurnal Unesa yang memiliki judul Makna dan Fungsi Tradisi Nyadran di Dusun Ngadiboyo. Makna tersebut adalah:
1. Makna untuk Antar Manusia
Seperti yang diketahui bersama, manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin rasanya tidak membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Dengan tradisi ini, seakan mengingatkan lagi manusia untuk saling bergotong royong dan memiliki rasa kebersamaan dengan orang di lingkungan.
2. Makna untuk Hubungan Manusia dengan Tuhan
Makna lain yang ada pada tradisi ini tentu terletak pada hubungan antara manusia dan Tuhan. Selain mendoakan mereka yang sudah tiada, tradisi ini juga merupakan perwujudan dari rasa syukur atas karunia dan berkah yang didapatkan selama ini.
3. Makna Ubarampe
Selain memiliki makna hubungan yang mendalam, tradisi Nyadran Jogja juga memiliki makna yang terkandung dalam ubarampe yang digunakan. Contohnya tumpeng yang melambangkan setiap usaha manusia yang harus tetap didasari pada kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Itulah beberapa informasi tentang Nyadran Jogja yang masih mudah ditemui hingga saat ini. Jika memang memiliki kesempatan, tidak ada salahnya untuk ikut andil dalam pelaksanaan tradisi tersebut.
Tidak hanya sekadar ikut meramaikan, ikut langsung dalam rangkaian prosesi yang sarat makna juga sering kali memberikan nilai dan kesan tersendiri bagi mereka yang belum pernah melakukannya sebelumnya.