Jogja memang terkenal memiliki banyak sekali peninggalan budaya dan bangunan bersejarah. Namun ternyata, selain dua hal tersebut, kota ini juga memiliki warisan lain berupa olahraga panahan atau yang bisa disebut jemparingan. Sejarah jemparingan pun saat ini masih menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan.
Ya, selain sejarah Selokan Mataram yang sudah sangat terkenal, sejarah tentang warisan olahraga ini juga cukup menarik untuk disimak sampai saat ini. Salah satu alasannya tentu karena jemparingan sudah ada sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Nah, untuk Sedulur Yogyaku yang masih belum terlalu kenal dengan sejarah jemparingan, yuk simak kisahnya berikut ini.
Mengenal Jemparingan, Olahraga Panahan Sejak Zaman Dahulu
Seperti yang sudah disebutkan tadi, jemparingan adalah salah satu olahraga panahan yang sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu. Jemparingan ini berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan sering juga disebut dengan jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta.
Awalnya, olahraga jemparingan hanya dilakukan oleh keluarga Kerajaan Mataram hingga menjadi perlombaan bagi prajurit Kerajaan. Namun, lama kelamaan olahraga ini semakin dikenal masyarakat luas dan semua kalangan bisa memainkannya.
Jika dilihat secara sekilas mungkin jemparingan ini tidak akan terlihat terlalu berbeda dengan panahan modern yang ada saat ini. Namun, mereka yang memainkan jemparingan biasanya menggunakan pakaian adat Yogyakarta, dan harus dalam posisi bersila ketika sedang memanah.
Keunikan lain yang ada pada Jemparingan adalah ketika sedang mengincar target, maka pemanah akan memegang busur panah secara horizontal, kemudian anak panah akan ditarik sampai depan dada, barulah terakhir anak panah akan dilepaskan.
Karena dianggap sebagai salah satu peninggalan yang penting, sampai saat ini Jemparingan masih berusaha untuk terus dipertahankan. Salah satu acaranya adalah dengan menggelar lomba jemparingan, sampai menjadikannya salah satu kelas tambahan di beberapa sekolah di Jogja.
Selain itu, olahraga Jemparingan juga masih rutin dimainkan satu minggu sekali di lingkungan Keraton Yogyakarta sampai saat ini. Selain demi menjaga peninggalan, nyatanya melakukan olahraga ini juga bisa menyehatkan badan hingga menjadi penghilang stress yang ampuh.
Kabar baiknya, olahraga jemparingan juga semakin dikenal dan disukai oleh anak muda saat ini. Sehingga, pihak Keraton dan masyarakat Jogja pada umumnya merasa optimis bisa terus melestarikan olahraga peninggalan yang satu ini.
Mengulik Sejarah Jemparingan, Sudah Ada Sejak Zaman Hamengku Buwono I
Selain tempat-tempat menarik seperti Desa Wisata Sosromenduran, Jogja memang terkenal memiliki peninggalan zaman dahulu yang masih dijaga dengan baik hingga kini. Salah satunya tentu saja olahraga jemparingan ini.
Seperti yang sudah disebutkan tadi, sejarah jemparingan sudah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu, tepatnya sejak zaman Hamengku Buwono I. Dimana, pada tahun 1757 Masehi, Raja Keraton Yogyakarta tersebut mendirikan sekolah untuk rakyat 2 tahun setelah Perjanjian Giyanti.
Nah, olahraga Jemparingan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah tersebut. Lalu kemudian, antara tahun 1755-1792, Sri Sultan Hamengku Buwono I semakin mendorong pengikutnya untuk belajar memanah. Salah satu alasannya adalah sebagai sarana membentuk watak ksatria.
Watak ksatria sendiri mengandung empat nilai utama. Nilai pertama adalah Sawiji yang bermakna konstrasi, nilai kedua Greget yang berarti semangat, nilai ketiga Sengguh yang bermakna percaya diri, dan yang terakhir adalah Ora Mingkuh yang artinya rasa tanggung jawab.
Perlengkapan Untuk Memainkan Jemparingan
Setelah tahu tentang sejarah jemparingan, tidak sempurna rasanya jika tidak sekaligus mengenal peralatan atau perlengkapan apa saja yang dibutuhkan jika ingin memainkan olahraga ini.
Nah, berikut beberapa perlengkapan yang dibutuhkan dalam jemparingan.
1. Jemparing
Jemparing sendiri merupakan anak panah yang terdiri dari batang anak panah atau deder, mata panah atau bedor, bulu pada pangkal panah atau biasa disebut wulu, dan nyenyep yang merupakan bagian pangkal jemparing yang ditaruh di tali busur ketika memanah.
2. Gandewa
Gandewa adalah busur yang terdiri dari pegangan busur atau cengkolak, bilah pada bagian kanan cengkolak yang bernama lar, dan tali busur yang bagian ujungnya dikaitkan pada ujung lar yang bernama kendheng.
3. Bandulan
Bandulan juga sering disebut dengan wong-wongan, yang merupakan sasaran panah berbentuk silinder. Ukurannya biasanya berdiameter 3 cm dan panjangnya 30 cm.
4. Molo
Molo merupakan perlengkapan yang menempel dengan bandulan. Biasanya sekitar 5 cm di bagian atas silinder dan diberi warna merah agar semakin mudah dilihat. Molo juga sering disebut dengan kepala atau sirah.
5. Awak
Dalam bahasa Jawa, awak memiliki arti badan atau tubuh. Yang mana, awak ini merupakan bagian bawah yang biasanya berwarna putih.
6. Jangga
Jangga atau leher merupakan titik pertemuan antara awak dan molo. Biasanya diberi warna kuning yang tebalnya sekitar 1 cm.
Itulah informasi tentang sejarah jemparingan yang masih sangat menarik untuk disimak sampai saat ini. Dengan lebih mengenal sejarah dari peninggalan zaman dahulu, masyarakat setempat diharapkan bisa lebih menghargai olahraga ini, dan mau ikut untuk memainkan dan melestarikannya agar tak hilang tertelan zaman.
Nah, bagi yang berasal dari luar kota Jogja, selain dari olahraga ini, Jogja tentu masih memiliki cerita dan tempat lain yang tidak kalah menariknya untuk disinggahi dan dikulik lebih jauh kisahnya, seperti Kampung Batik Giriloyo.
Jadi, apakah Anda tertarik untuk memainkannya suatu saat nanti?